The first day of the journalistic school dan tiba - tiba kita disuruh nulis sesuatu.Ngga ada ide apapun yang terlintas di pikiran yang kira - kira bisa bagus untuk dibuat tulisan. Nyari ide untuk menulis itu menurut gue merupakan bagian yang paling susah (selain mencari judul tulisan :p). Kenapa? Karena inspirasi itu datengnya seenak jidat. Kadang - kadang kalo lagi ngga butuh inspirasi buat menulis, inspirasi itu datang., tapi di lain waktu, kayak saat ini, inspirasi yang ditunggu - tunggu ngga dateng juga. Entah faktor otak yang masih macet keadaan hari ini yang masih pagi dan belom sarapan pula (dan juga hari ini hari Sabtu *malah curhat*) atau emang belom saatnya inspirasi itu dateng *sigh.
That's it. Gue selalu berpikiran bahwa yang namanya ide dan inspirasi itu kayak jelangkung. Dateng tak dijemput, pulang tak diantar. Hal inilah yang membuat gue 'awake' dengan salah satu qoute yang dilontarkan oleh sang pembicara,
Ide itu seperti udara. Ia selalu ada dimana - mana. Yang jadi masalah bagi kita para pencari ide adalah bagaimana kita menghirupnya layaknya kita menghirup udara.
Ajiib, keren sumpah deh quotenya. Jadi intinya, mencari ide untuk menulis adalah bukan kita yang MENUNGGU ide itu datang menghampiri kita, tapi kitalah yang harus MENCARI cara untuk 'menghirup' mereka yang selalu ada disekitar kita. In this state, gue langsung ngelihat sekeliling, mencoba peka terhadap 'kehadiran' para ide disekitar gue, dan berbagai macam hal muncul di kepala, mulai dari hal yang ngga nyambung sama sekali satu sama lain sampe hal yang sama sekali ngga masuk akal. Gue ngelihat keluar kelas, dan tiba - tiba di kepala gue muncul imajinasi kekanak - kanakan tentang bagaimana sebatang pohon itu hidup, dan bagaimana jika mereka bisa bergerak, berpindah tempat layaknya manusia dan hewan. Dan bagaimana jika sebenernya cuma gue satu - satunya manusia yang benar - benar manusia di dunia ini, dan bahwa orang lain itu sebenarnya adalah robot atau semacam alien yang menyamar sebagai manusia untuk mengambil alih bumi *oke, yang ini udah terlalu kekanak - kanakan*. Gue membayangkan kalau seandainya makhluk hidup lain seperti semut, tupai, kucing, hewan - hewan lain serta pepohonan itu bisa bicara, apakah mereka senang dengan kepemimpinan manusia di bumi ini, atau mereka justru menangis dalam keheningan tentang bagaimana manusia justru merusak tempat tinggal mereka sendiri. Bayangan mengenai sebuah paralel universe muncul, dan gue melihat adanya kedamaian yang berbeda dengan dunia manusia. Dengan alam yang masih bersih dan hewan - hewan serta tumbuhan hidup dengan damai dan harmonis, tanpa adanya tangan - tangan manusia jahat yang egois dan terus menerus merusak keseimbangan alam. Well said, sebenarnya ide itu selalu ada disana memanggil - manggil kita untuk menyadarinya, dan yang perlu kita lakukan adalah menajamkan pikiran, mengasah kepekaan terhadap lingkungan. Di sini gue sadar, mencari ide itu sebenarnya adalah proses menuju kedewasaan, menuju ke pribadi yang lebih peka dan lebih lembut perasaannya. Apakah kelak ide itu akan kita tuangkan ke dalam tulisan atau akan kita biarkan saja mereka menggantung di pikiran, itu adalah pilihan masing - masing manusia.
Terlepas dari masalah kepekaan manusia dalam mencari ide, ada satu lagi quote yang bikin gue mikir dalem. Waktu itu, pembicara lagi ngejelasin tentang kiat menjadi penulis, dan beliau bilang bahwa
Orang gelisah = calon penulis
Well said, gue jadi mikir tentang ternyata kegelisahan *atau kegalauan bahasa gaulnya* ternyata juga bisa jadi indikator tentang sesuatu yang cukup positif. Gue selalu berpikiran bahwa yang namanya galau itu cuma ngabis - abisin waktu, terlalu mendramatisir keadaan dan dan ngga ada gunanya. Tapi ternyata ? Kenapa sang pembicara melontarkan kata - kata ini, beliau menjelaskan bahwa orang yang sering gelisah itu sebenarnya perasaanya lebih peka daripada kebanyakan orang. Ia selalu memiliki pemikiran yang berbeda dari orang lain, dan terkadang pemikiran itu seolah menghantuinya dan memaksanya untuk selalu berpikir dan berpikir tentangnya. Kepekaannya tentang segala sesuatu membuatnya selalu seolah dibebani banyak pikiran, dan membuatnya tampak selalu gelisah. Dan jika ia lebih baik lagi, ia akan berevolusi menjadi agen perubahan, yang senantiasa tertantang untuk mewujudkan apa yang ada di pikirannya,. Tapi sekali lagi, gelisah dalam artian ini *menurut gue* berbeda dengan gelisahnya para ababil yang selalu menganggap bahwa dirinya adalah yang paling sengsara, paling tidak beruntung dan tidak pernah dipedulikan orang lain. That's not sensitive, that's pathetic. Jenis kegelisahan kayak gini cuma semakin menegaskan bahwa ia ngga mensyukuri nikmat yang udah diberikan Allah. If you want to change something, you have to start it with your self. Masalah orang lain bakal ngikutin atau ngga, itu masalah mereka. Yang penting kita udah mau berusaha dan berubah. Toh pada akhirnya kita selalu punya Allah =).
Oke, kenapa gue malah jadi ngelantur kayak gini ya? Pokoknya intinya, manusia itu akan selalu menjadi lebih baik jika perasaannya peka dan lembut, karena dengan begitu, ia akan selalu bisa berkomunikasi dengan sekelilingnya, tumbuhan, hewan, sungai, politik, bencana, perang, laut, udara dan lainnya melalui bahasa alam, dan menjadi lebih siap dalam membuat perubahan .
Oya, satu lagi, hal ini semakin menegaskan bahwa gue sebenarnya masih bodoh, dimana ternyata hal - hal yang selalu gue yakini pada akhirnya ternyata justru sama sekali salah *sigh. Okay, lets learn more. >.<